Puslapdik– Kisah ini bisa menginspirasi mahasiswa penerima KIP Kuliah. Kisah tentang bagaimana dana bantuan KIP Kuliah bila dikelola dengan cerdas, selain bisa untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan, juga bisa dijadikan modal usaha yang bila ditekuni secara serius bisa menjadi bisnis miliaran rupiah perbulannya.
Berawal dari kondisi yang memprihatinkan Faron Ali Baihaqi yang saat SMP terpaksa menghadapi perceraian orang tuanya sehingga sejak SMP sampai SMK, hidup bersama dengan neneknya di Muara Badak, sebuah kecamatan di wilayah pesisir Kabupatan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
“Waktu itu saya pesimis bisa kuliah karena ngga punya biaya,”ujar Faron saat diwawancara Puslapdik melalui telepon beberapa waktu lalu.
Namun, saat duduk di bangku kelas 12 SMK dan menjelang penerimaan mahasiswa baru Tahun 2016, Faron mengetahui ada program BidikMisi ( Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa Miskin dan Berprestasi yang Tahun 2020 menjadi KIP Kuliah). Lantas Faron mencoba peruntungan mendaftar KIP Kuliah dan juga mengikuti SNMPTN di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Samarinda. Faron ternyata lolos seleksi SNMPTN dan juga BidikMisi.
Dana Bidikmisi jadi modal usaha
Saat menerima uang bantuan hidup dari BidikMisi yang saat itu nilainya Rp3,6 juta per semester atau Rp600 ribu perbulan, Faron berpikir, uang sejumlah itu tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
“Kalau kebutuhan kuliah mungkin cukup, tapi kan kebutuhan saya bukan sekedar itu, ada kebutuhan lainnya, “pikinya.

Baca juga : Kisah Athi, Masuk SMP sampai S2 Tanpa Seleksi, Tapi Melalui Prestasi
Dengan pemikiran itu, Faron lantas berpikir memanfaatkan uang BidikMisi itu untuk modal usaha. Pilihan usaha Faron jatuh pada usaha perikanan laut yang linear dengan studinya. Faron melihat, posisi Kota Samarinda yang jauh dari laut membuat harga ikan laut mahal. Dengan pemikiran itu, Faron membeli berbagai jenis ikan laut di kampungnya di Muara Badak dan dijual di Samarinda.
“Saya ingat betul, modal awal itu Rp1,3 juta untuk membeli 30 Kg ikan laut berbagai jenis,” “kenang Faron.
Mulailah setiap pukul 5 subuh Faron beli ikan di pengepul ikan di Muara Badak dan lantas dibawa ke Samarinda untuk dijual. Sasaran penjualannya ke perumahan-perumahan.
“Jadwal kuliah saya pukul 10 pagi, jualan ikan saya habis pukul 9, jadi setelah dagang saya langsung ke kampus, pulang dari kampus sore hari langsung balik ke Muara Badak yang kira-kira 1,5 jam perjalanan, saya saat itu belum punya motor, jadi pinjem motor punya teman, “cerita Faron.
Dari pengepul, Faron membeli ikan dengan harga perkilo Rp40 ribu, lantas dijual dengan harga Rp70 ribu sehingga per kilonya Faron untuk Rp30 ribu. Saat itu harga jual ikan sejenis di pasar Samarinda sekitar Rp75 ribu.
“Pikiran saya, dengan harga jual yang lebih murah dari harga di pasar ditambah konsumen tidak perlu ke pasar, pasti menarik, dan alhamdulillah tidak meleset, “katanya.
Setiap hari, Faron berjualan keliling perumahan dan pemukiman mulai pukul 7 hingga pukul 9 pagi. Bila jualannya yang sebanyak 30 Kg itu habis, maka Faron beroleh omzet Rp900 ribu yang bila setelah dipotong bensin, makan, dan kebutuhan lainnya kira-kira memperoleh sekitar Rp700hingga Rp800 ribu


Jadi eksportir ikan
Selama 6 bulan berjualan ikan dari rumah ke rumah itu, Faron sudah mampu membeli motor. Memasuki semester 2, Faron memperluas sasaran pasarnya ke restoran dan hotel. Jejaring usaha pun meluas. Faron pun mulai menjajal untuk mengekspor dengan bantuan relasinya sesama penjual ikan. Sekitar semester 8 atau Tahun 2018, Faron mulai mengekspor berbagai jenis ikan, seperti Kerapu, Bawal, dan lainnya ke China.
Dengan menerapkan ilmu dari kampusnya, Faron menjaga kualitas kesegaran ikan sehingga dipercaya pembeli. Faron lantas diminta menyediakan ikan dalam jumlah besar untuk diekspor ke China. Karena modal Faron belum mencukupi untuk mengekspor dalam jumlah besar, pembeli dari China itu lantas menawari untuk investasi langsung di usaha Faron dengan model bagi hasil.
Mulai dari situlah Faron jadi pengekspor berbagai jenis ikan laut,antara lain Tenggiri, Cumi, Kerapu, Udang, Bandeng, Bawal, hingga ikan Kakaktua. Berawal dari mengekspor ke China, negara tujuan terus bertambah dan kini telah mengekspor ke 14 negara.
“Saya ekspor sesuai permintaan pembeli, ada yang berupa ikan kering, ikan fresh beku, ikan fresh hidup, dan sebagainya, “lanjutnya.
Kini, masih kerjasama dengan investor dari China, Faron memiliki dua perusahaan dan satu lagi masih dalam proses pengurusan akta. Di perusahaan pertama yang mengekspor ikan fresh, PT Baruna Maritim Jaya, Faron berperan sebagai Chief of Executive Officer (CEO), sedangkan di perusahaan kedua, PT Pelinas Forsam Indonesia, Faron menduduki posisi sebagai komisaris.
Dari kedua perusahaan pengolahan dan pembekuan yang berbasis di Balikpapan serta gudang atau mini plant yang tersebar di berbagai pesisir Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur itu, omzet perbulannya mencapai Rp5-10 miliar.
“Saya telah memperkerjakan sebanyak 60 karyawan dan melibatkan banyak nelayan sebagai pemasok ikan. Bila sebelumnya ikan dari para nelayan itu dibeli tengkulak dengan harga rendah, kini para nelayan menjual langsung ke perusahaan saya dengan harga yang sesuai pasar, “jelasnya.
Faron juga menjadikan kedua perusahaannya itu sebagai tempat magang atau praktek kerja lapangan (PKL) mahasiswa Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Mulawarman dan fakultas lainnya.
“Sebelumnya, para mahasiswa harus magang atau PKL di Jawa, kini bisa di perusahaan saya, “ujarnya.
Jangan menyerah
Diakui Faron, karena sudah mulai merintis usaha sejak kuliah, yakni sejak semester 1, kuliahnya molor setahun, yakni yang seharusnya 4 tahun menjadi 5 tahun.
“Dana Bidikmisi yang diberikan itu hanya untuk 4 tahun, jadi setahun berikutnya ditanggung saya sendiri,”kata Faron yang baru menikah pertengahan 2022 lalu itu.
Di ujung pembicaraan, Faron mengajak mahasiswa para penerima KIP Kuliah untuk memanfaatkan bantuan KIP Kuliah sebaik-baiknya. Melalui Bidikmisi atau yang kini jadi KIP Kuliah, biaya kuliah termasuk biaya hidup jangan dijadikan hambatan untuk merasakan jenjang Pendidikan tinggi.
“Jangan langsung menyerah pada keadaan, pintar melihat peluang yang ada, jangan gengsi, di mana ada kemauan, pasti ada jalan, “katanya.