Puslapdik— Kecantikan khas Papua nampak terlihat di wajahnya. Hitam manis, rambut Panjang bergelombang dengan postur badan yang tinggi semampai. Wiruri Helena Aprilean Rarawi. Demikian nama yang diberikan orang tuanya, Herman Rarawi, seorang pensiunan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jayapura dan Janne Polly, guru PAUD “Pengharapan” Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengharapan Jayapura.
Tim Puslapdik menemuinya di rumahnya di belakang Mall Jayapura, tepatnya di Jalan Kabupaten 1 APO Camat, Bhayangkara, Jayapura Utara, Kota Jayapura. Rumahnya sederhana.
Tahun 2013 lalu, gadis yang kerap disapa Dede ini berhasil memperoleh beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem), sebuah program beasiswa yang diberikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, khusus untuk siswa dari Papua, Papua Barat, daerah 3 T, dan anak TKI. Melalui Adem tersebut, Helena diberi kesempatan melanjutkan jenjang SMA di SMAN 1 Sukawati, Gianyar, Bali. Peserta Adem memang harus bersedia ditempatkan di SMA di luar Papua di seluruh Indonesia.

Lulus tahun 2016, Helena lantas kembali lolos seleksi beasiswa ADik atau Afirmasi Pendidikan Tinggi yang juga diselenggrakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, juga khusus untuk siswa dari Papua, Papua Barat, daerah 3 T, dan anak TKI. Helena diterima di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung. Lulus tahun 2020 lalu dan kini Helena sedang melanjutkan kuliah profesi keperawatan di fakultas yang sama.
“Saya tidak bisa mencapai seperti sekarang ini kalau saya tidak mendapatkan Adem dan ADik. Kedua program itu merubah banyak hal dalam diri saya. Saya bisa belajar dunia luar, bisa mengasah diri dan karakter saya. Istilahnya, Adem dan ADik berperan paling besar dalam hidup saya ini, “kata gadis yang kalem namun tegas dan percaya diri saat berbicara ini.
Ada cerita mengenai pilihan Helena menggeluti pendidikan keperawatan ini. Awalnya, pendidikan keperawatan bukan pilihannya. Saat daftar ADik, Helena sebenarnya memilih juruan kedokteran dan psikologi di UNPAD, dan pilihan berikutnya di Universitas Sebelas Maret Solo. Namun entah kenapa, saat hasil seleksi diumumkan, Helena terdaftar lulus di Fakultas Keperawatan UNPAD.
“Saya sempat bimbang, namun atas saran Bapak, saya jalani saja dulu, “kata dara kelahiran 1 April 1998 ini.
Kebimbangan kembali muncul saat mengetahui, bahwa lokasi kampus UNPAD bukan di Kota Bandung seperti yang ia bayangkan, namun di Jatinangor yang memang lokasi kampus UNPAD yang terletak di Kabupaten Sumedang, kira-kira 1 jam perjalanan dari Kota Bandung. Helena sempat shock dengan suasana Jatinangor.
Tak mau dikuasai suasana hati, Helena memutuskan untuk terus melanjutkannya. Seiring dengan waktu, mengikuti perkuliahan, bergaul dengan teman-teman, terutama setelah mengenal lebih jauh dunia keperawatan, Helena pun akhirnya jatuh cinta sama dunia keperawatan.
“Melalui profesi keperawatan, saya bisa berkesempatan menolong atau melayani orang lain dengan sepenuh hati, sebab sebagai perawat, saya mencoba memenuhi kebutuhan dasar pasien sebagai manusia, seperti kebutuhan disayang, diberi makan, bahkan kebutuhan yang komplek, seperti kebutuhan oksigenasi, cairan dan lain-lainnya, “lanjut Helena.

Menyadari perlu peningkatan wawasan, Helena aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan di berbagai event, baik di fakultas maupun di universitas. Helena sempat didapuk sebagai Ketua Persekutuan Mahasiswa Kristek Katolik (PMKK)Fakultas Keperawatan, dan dipercaya sebagai produser dan penyiar di radio UNPAD. Sebagai penganut Katolik yang taat, Helena juga aktif dalam pelayanan di gereja yang berada di kompleks Institut Pemerintahan Dalam Negeri(IPDN) yang masih berlokasi di Jatinangor. Tak Jauh dari UNPAD.
Ingin meningkatkan Kesehatan di Papua
Kelak, bila selesai dalam kuliah keprofesian sebagai perawat dengan gelar Ners, Helena berkomitmen meningkatkan taraf Kesehatan masyarakat Papua, terutama menurunkan angka kematian yang saat ini masih tinggi di Papua. Namun, Helena menyadari, keinginan yang besar itu harus didukung oleh pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Karena itu, Helena berencana melanjutkan dulu S2 atau magang di dinas kesehatan dimana saja. “Rencananya, saya mau lanjut dulu di S2 untuk bidang keperawatan atau manajemen keperawatan atau bidang komunitas yang bisa menolong masyarakat, “katanya.

Helena bangga, saat ini sudah banyak anak-anak muda Papua yang punya inisiatif dan berprestasi. Sempat sekitar tujuh tahun meninggalkan tanah Papua untuk menimba ilmu sejak SMA di Bali sampai perguruan tinggi di Bandung, saat pulang ke Papua akhir tahun 2020 lalu, Helena sempat terkesima dan takjub.
“Saya melihat sudah banyak sekali anak muda Papua yang menghasilkan hal-hal yang luar biasa, membuka bisnis yang hebat, membantu mendukung penyelenggaraan PON yang menurut saya itu sudah luar biasa. Saya mengajak anak anak Papua yang merantau untuk supaya kembali dan membantu meningkatkan SDM papua yang jauh lebih baik, “ harap Helena.
Baca juga :
- Pelajar dan Mahasiswa Peraih Medali di PON XX Papua Berpeluang Mendapat Beasiswa Prestasi Talenta
- Inilah, 1552 Siswa SMA dan SMK yang Lolos Seleksi Penerimaan Beasiswa ADik 2021
Mahasiswa ADik butuh perhatian
Berbicara soal program ADik, tentunya menurut Helena sudah sangat baik dan perlu dilanjutkan serta didukung. Namun, agar mahasiswa penerima ADik termotivasi dan berprestasi, Helena berharap ada pengawasan dan bimbingan secara berkala dari Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik).
Helena membandingkan, saat SMA dulu, sebagai peserta Adem, banyak merasakan bimbingan dari pemerintah. Setiap tiga bulan, ada bimbingan dan pemantauan serta beberapa kali diadakan Jambore khusus peserta Adem yang berasal dari berbagai daerah. “Kami bisa saling cerita, tukar pengalaman, pengetahuan, itu membuat kami lebih semangat untuk sekolah meskipun rindu keluarga, tapi karena ada pertemuan antar teman-teman sesama Papua, jauh menguatkan kami, “ katanya.

Namun selama kuliah sebagai peserta ADik, lanjut Helena, dibiarkan jalan sendiri, tanpa pengawasan dan bimbingan. Hanya saat awal masuk ada semacam bimbingan khusus berupa matrikulasi, diberi semacam motivasi dan pembekalan.
“Banyak teman-teman ADik yang tidak sungguh sungguh menjalani kuliahnya karena pada akhirnya rindu keluarga, kekurangan biaya sehingga tidak fokus kuliah, “ujar Helena.
Berharap Membangun Papua
Ayah Helena, Herman Rarawi, mengakui, program ADik sangat menolong pembiayaan pendidikan serta membuka peluang bagi Helena untuk menuntut ilmu di luar Papua. “Pengetahuan Helena melalui perkuliahan dan wawasan serta pengalaman yang diperoleh di luar Papua diharapkan bisa dimanfaatkan untuk membangun masyarakat Papua, ” kata Herman.
Herman berharap Helena dan anak-anak peserta ADik, setelah lulus, kembali ke Papua dan ikut membangun Papua. Namun Herman juga tidak keberatan bila Helena punya pemikiran untuk berkiprah di luar Papua. “Selama itu tetap dalam pengabdian pada masyarakat, bangsa dan negara, tetunya tidak bisa kali larang, bahkan harus kami dukung, “ujarnya.
Herman bersyukur, perhatian pemerintah pada pendidikan di Papua sangat besar, namun salah satu kendala pendidikan di Papua adalah kurangnya tenaga pendidikan atau guru, terutama di daerah terpencil. “Perlu diperhatikan penambahan tenaga guru, terutama di daerah terpencil,” katanya
2 Comments