Jakarta– Sejak Tahun 2013, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menggelar program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk murid-murid jenjang sekolah menengah di Papua dan Papua Barat. Sasaran Program ADEM tersebut selanjutnya diperluas dengan menyasar murid-murid di wilayah 3T dan wilayah perbatasan pada tahun 2014 dan tahun 2016 kembali diperluas dengan menyasar murid-murid dari keluarga repatriasi, yakni buruh migran di wilayah Sabah, dan Serawak, Malaysia.
Dengan usia yang masih remaja dan datang dari Papua, tentulah tidak mudah untuk beradaptasi dan menempuh pendidikan di daerah yang sangat berbeda adat, budaya, lingkungan, dan suasana pendidikannya.
Salah satu contohnya adalah Riki Karwayu. Siswa penerima Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) tahun 2020 dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini mengaku sempat mengalami culture shock saat tahun pertama menjalani pendidikan di SMAN 5 Sukabumi, Jawa Barat.
“Di awal tahun, sempat mengalami culture shock karena merasakan perbedaan yang jauh soal bahasa, makanan, dan kondisi pergaulan di Sukabumi yang tidak pernah saya alami sebelumnya di Sikka, “kata Riki.
Sementara itu, Semuel Sem Kogoya. siswa penerima ADEM asal Kabupaten Lanny Jaya, Propinsi Papua Pegunungan, juga merasakan kendala di awal sekolah. Menjalani sekolah di SMA Kristen Yos Sudarso, Kabupaten Kepanjen, Malang, Jawa Timur, sejak tahun 2020 lalu, Semuel mengalami kesulitan di mata pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia.
Peranan sekolah, dinas pendidikan atau koordinator ADEM di wilayah memang sangat berperan penting. Para siswa ADEM membutuhkan pembinaan dan pendampingan serta bantuan saat mempunyai kendala, baik akademik maupun kendala non akademik.

Baca juga : Fakta-Fakta Mengenai Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM)
Wahono, Koordinator Sekolah Pelaksana ADEM wilayah Jawa Timur, mengungkapkan, pihaknya menerapkan apa yang disebut terapi budaya.
“Kami mengajak siswa ADEM melakukan pembiasaan-pembiasaan dengan cara melakukan asimilasi dengan teman-teman lokal yang ada di kelas, di asrama atau dengan komunitas di gereja atau di mesjid atau di wilayah tempat kostnya untuk mempercepat kemampuan beradaptasi, “kata Wanoho yang juga Kepala sekolah SMA Kristen Immanuel di Batu, Jawa Timur,, ini.
Agar siswa ADEM bisa cepat beradaptasi, dikatakan Wahono, siswa ADEM dilibatkan dalam komunitas dan kegiatan yang membuatnya nyaman dan senang. Salah satunya dengan melibatkannya dalam berbagai kegiatan yang akan membuat siswa tertarik dan lebih konsentrasi untuk mengejar studi.
“Kami ajak mereka terlibat dalam kegiatan dari pagi sampai malamsupaya tidak ada waktu luang, “katanya.
Bil ada siswa yang karena sesuatu hal tetap tidak nyaman di sekolahnya, maka siswa tersebut dipindahkan ke sekolah lain atau kota lain.
Sedangkan untuk mengatasi kendala akademik, terutama bagi siswa ADEM asal Papua, sekolah membuat kelompok belajar yang membaurkan siswa ADEM dengan siswa lokal.
“Ada guru-guru khusus yang ditugaskan mendampingi mereka, seperti di Immanuel, kami buat rumah pintar untuk anak-anak ADEM ini, “lanjut Wahono.
Di rumah pintar itu, kata Wahono, diberi tambahan pelajaran pada materi-materi yang kurang sehingga siswa tidak ketinggalan.

Baca juga : Nadiem Harap Pelajar Papua Penerima ADEM Lanjutkan ke Pendidikan Tinggi
Matrikulasi
Pembinaan yang sama juga dilakukan Koordinator ADEM di Propinsi Banten. Untung Supriyanto, Koordinator Sekolah Pelaksana program ADEM wilayah Banten, menjelaskan, pertama tiba dari Papua, siswa ADEM diberikan pelatihan Wawasan Kebangsaan dan matrikulasi. Dalam matrikulasi tersebut, siswa ADEM dari Papua diajarkan pembiasaan hidup bersih, dan sehat serta cara berkomunikasi yang sesuai dengan budaya di Banten.
“Siswa ADEM dari Papua itu kan cenderung kalau berbicara itu keras dan kasar dalam pandangan orang Banten atau Jawa pada umumnya, karena itu kita ajarkan cara berbicara yang santun dan tidak keras,”ujar Untung.
Diakui Untung, mengajarkan pembiasaan hidup sehat,hidup bersih, dan cara berkomunikasi yang santun itu lebih mudah dilakukan terhadap siswa ADEM yang kost di rumah guru atau rumah penduduk di sekitar sekolah. Namun agak sulit bagi siswa ADEM yang oleh sekolahnya ditempatkan di asrama.
“Siswa ADEM yang kost di rumah guru atau rumah penduduk cenderung lebih gampang berbaur dan menerapkan pembiasaan hidup bersih dan sehat serta santun, sedangkan yang tinggal di asrama agak sulit karena mereka lebih banyak bergaul dengan sesama Papua dan banyak dipengaruhi mahasiswa Papua yang kuliah melalui skema ADik di Universitas Tirtayasa, “ungkap Kepala sekolah SMK Negeri 1 Ciruas, Kabupaten Serang, ini.
Terkait akademik, diakui Untung, siswa Papua jauh tertinggal dibanding siswa ADEM dari daerah 3T dan anak repartriasi atau anak migran.
“Memang ada juga siswa ADEM Papua yang gampang menangkap materi pelajaran, untuk yang tertinggal, kita minta guru-guru pendamping memberikan pelajaran tambahan agar tidak terlalu tertinggal, walaupun secara umum untuk siswa ADEM Papua kita memang berikan perlakuan khusus, “jelasnya.
Matrikulasi juga diterapkan bagi siswa penerima ADEM di wilayah Yogyakarta. Koordinator ADEM Daerah Istimewa Yogyakarta, Sartana Pawirosingodimejo, memaparkan, ketika para siswa ADEM tiba di Yogyakarta, langsung masuk ke kelas matrikulasi. Dalam matrikulasi tersebut, siswa diperkenalkan pada strategi pembelajaran, strategi mengerjakan tugas, strategi berkomunikasi dalam pengelolaan kelas, dan bagaimana menyikapi perubahan gaya hidup dan gaya belajar antara di Papua dan di Yogyakarta.
“Kita akui saja, kualitas pendidikan di Papua sangat jauh berbeda dengan di Yogyakarta atau daerah lain di Jawa, jadi kita berikan penjelasan dan pembinaan selama kurang lebih 2 sampai 3 minggu, “paparnya.
Dalam kegiatan matrikulasi tersebut, lanjutnya, juga dilibatkan siswa lokal Yogyakarta untuk diajak bergaul, berdampingan, saling memperkenalkan diri. Siswa Papua dan lokal duduk bersama, berkegiatan bersama sehingga secara perlahan terjalin keakraban dan menjadi satu kesatuan.
Baca juga :Mahasiswa Penerima ADik Diharap Raih Prestasi Tinggi dan Lulus Kuliah Tepat Waktu
Dalam perjalanan waktu, tak jarang siswa ADEM mengalami kendala, baik akademik maupun sosial. Dalam situasi tersebut, ada yang disebut dengan layanan paripurna. Dalam layanan paripurna tersebut,siswa mengungkapkan persoalan yang dihadapi lantas dikomunikasikan dengan guru kelas,guru pendamping, guru BK atau bahkan dalam masalah tertentu juga dilibatkan kepala asrama atau ibu kost.
“Semua pihak bersama-sama membantu siswa ADEM mengatasi masalah yang dihadapi. dalam hal ini, memang semua yang berada di sekitar siswa dilibatkan agar siswa mampu menyelesaikan masalah dan bisa nyaman, “kata Sartana.
Terakhir, lanjut Sartana, secara kontinyu dilakukan pengawasan, baik pengawasan terhadap kemajuan akademik siswa maupun terkait pergaulan dan kehidupan sosialnya.
“Dengan tiga cara itu, siswa Papua dan siswa lokal menjadi bersaudara, akrab, dan tidak membedakan, semua saling membantu, “katanya.

Membuka diri
Sementara itu, Erna Yuli Erawati, Koordinator ADEM Wilayah Jawa Tengah, mengatakan, pihaknya selalu terbuka menerima keluhan atau pengaduan atau persoalan yang dihadapi siswa ADEM.
“Khusus untuk persoalan akademik, diidentifikasi mata pelajaran yang lemah lantas siswa bersangkutan kita lakukan treatment, berupa bimbingan pelajaran yang dilakukan selepas jam pelajaran, “jelas Erna.
Mengenai pendampingan atas perilaku dan pembiasaan siswa, lanjut Erna, di awal kedatangan di Jawa, diberikan pemahaman terkait hidup bersih dan sehat.
“Salah satu yang krusial, adalah kebiasaan merokok dan minum-minuman keras yang nampaknya di Papua dibiarkan bahkan jadi budaya, tidak saja orang dewasa, juga anak remaja dan bahkan anak kecil, “lanjut Kepala Sekolah SMA Kristen Pendowo, Magelang,ini..
Untuk mengefektifkan pendampingan, tak jarang diundang pihak-pihak lain yang menguasai terkait pencegahan bahaya merokok, minuman keras dan narkoba.
“Bersyukur, secara perlahan kebiasan minum-minuman keras bisa dihilangkah, walaupun kebiasan merokok agak susah,perlu intensif dilakukan pemahaman bahaya merokok, “katanya.
Di luar masalah merokok, dan minuman keras itu, kata Erna,sebenarnya siswa-siswa Papua mampu berbaur dengan warga lokal. Hal itu karena sejak awal, pihaknya selalu melibatkan siswa ADEM dalam berbagai kegiatan sekolah atau kemasyarakatan.
Tak hanya berupaya meningkatkan prestasi akademik, pihak sekolah juga selalu mengarahkan siswa ADEM untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Hal itu dilakukan melalui pelibatan dalam berbagai kegiatan ekstra kurikuler.
“Hasilnya, banyak diantara mereka yang berprestasi, seperti dalam kejuaraan pencak silat, futsal, atletik dan seni nyanyi, bahkan di bidang modeling, “lanjutnya.