Puslapdik— Ada sebuah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam membiayai seorang anak yang punya keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun punya kendala ekonomi.
Kearifan lokal milik masyarakat Manggarai itu diteliti dan dianalisa oleh Fransiskus Seda & Maria Dominika Niron dari Program Studi Manajemen Pendidikan, Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian berjudul “Wuat Wa’i: Model Gotong Royong Masyarakat Manggarai dalam Pembiayaan Pendidikan di Perguruan Tinggi” itu dilakukan tahun 2020 dan dimuat di Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 7, Nomor 1, Juni 2022.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kabupaten yang berada di Pulau Flores itu disebut Wuat Wa’i. Kedua peneliti mendeskripsikan Wuat Wa’i sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Manggarai dalam tolong menolong di dunia Pendidikan. Tradisi Wuat Wa’i telah menjadi wadah masyarakat Manggarai secara spontan dan timbal balik bergotong royong mengumpulkan dana pendidikan. Dalam perayaan Wuat Wa’I, masyarakat Manggarai secara bergantian hadir membawa sumbangan baik dalam bentuk materi (uang) maupun sumbangan moril berupa do’a dan nasihat berbasis budaya bagi anak dari keluarga yang hendak melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Pemberian bekal
Secara etimologis, Wuat Wa’i berasal dari dua kata Bahasa Manggarai, yakni Wuat artinya mengutus dan Wa’i artinya kaki. Secara harafiah, Wuat Wa’i artinya mengutus kaki. Namun, jika diartikan secara lebih mendalam, Wuat artinya membekali dan Wa’i artinya, berjalan jauh. Jadi, Wuat Wa’i artinya membekali seseorang untuk berjalan jauh.
Tradisi Wuat Wa’i tersebut berupa pesta perayaan yang diselenggarakan sebuah keluarga inti dan dihadiri keluarga besar, tokoh masyarakat, pengusaha, dan lainnya. Perayaan Wuat Wa’i diadakan sebuah keluarga ketika seorang anaknya hendak merantau ke luar daerah untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang umumnya jenjang Pendidikan tinggi. Dalam tradisi Wuat Wa’i ini, para tokoh masyarakat, tetua kampung dan undangan membekali berupa doa, wejangan, dan bantuan biaya yang diberikan secara gotong royong atau urunan.
Dalam acara Wuat Wa’i tersebut, si anak yang mau merantau memohon doa restu dari segenap anggota keluarga dan tokoh masyarakat serta tokoh adat agar perjalanannya ke tanah rantau dapat memberikan perubahan bagi kualitas kehidupannya sendiri dan juga kehidupan keluarga.
Dalam acara Wuat Wa’i ada pemotongan hewan Qurban yang berupa ayam jantan dan harus berwarna putih. Harus berwarna putih karena warna putih melambangkan kesucian, ketulusan, dan kepolosan/kekosongan. Kosong artinya belum memiliki apa-apa di dalam dirinya. Hal itu karena dalam tradisi Wuat Wa’i itu ada peribahasa atau dalam Bahasa Manggarai disebut go’et, yakni “Porong lalong bakok du lakom, lalong rombeng du kolem” (semoga pergi dengan tak membawa apa-apa, dan pulang harus membawa keberhasilan). Dalam perayaan Wuat Wa’i itu juga, seorang anak didoakan dengan sebuah harapan “Sesek sapu kole mbaru, sesek panggal kole tana,” yang artinya keluarga dan masyarakat yang hadir mengharapkan keberhasilan dari seorang anak dalam melanjutkan studi, serta “Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala,” artinya, berkembanglah menggapai bulan , bertumbuhlah tinggi menggapai bintang di langit
Praktek gotong royong
Penelitian ini menunjukkan, Wuat Wa’i sebagai praktik gotong royong yang terjadi pada tingkat keluaga baik keluarga inti maupun keluarga luas dan pada tingkat masyarakat desa atau kampung. Selain itu melalui Wuat Wa’i masyarakat Manggarai telah mengangkat dan menghidupi nilai-nilai kemanusiaan seperti solidaritas, komunio (persatuan) , dan religius serta nilai kekeluargaan atau dalam bahasa Manggarai disebut “nai ca anggit tuka ca leleng, kope oles todo pongkol”.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif melalui wawancara dan studi dokumentasi. Penelitian ini di lakukan di tiga Kabupaten propinsi NTT, yaitu Manggarai Timur, Manggarai Tengah, dan Manggarai Barat. Sumber informasi penelitian ini adalah masyarakat pelaku pesta sekolah, seperti tokoh masyarakat atau tua golo, guru serta mahasiswa yang pernah mengikuti atau mengadakan Wuat Wa’i baik sebagai ketua panitia, orang tua, maupun anak yang dipestakan.
Melalui penelitian terhadap 20 mahasiswa dan 20 orang tua yang pernah terlibat dalam beberapa perayaan Wuat Wa’i ditemukan bahwa dana yang berhasil dikumpulkan berkisar 15 juta – 100 juta.
Penelitian itu menyimpulkan, dengan mewariskan tradisi Wuat Wa’i, masyarakat Manggarai telah berpartisipasi secara aktif dan bergantian membantu pembiayaan pendidikan dalam keluarga dengan cara mengumpulkan dana pendidikan. Wuat Wa’i telah memberi dampak positif bagi masyarakat untuk melanjutkan studi anak-anak mereka ke tingkat perguruan tinggi.
1 Comment